Selasa, 24 Januari 2017

Mengapa Setengah Juta Orang Jepang Tidak Pernah Meninggalkan Rumah

Posted by Aster di 04.10
Halo. Selamat tahun baru, kawan.
Rasanya asing dan awkward buka blog ini, lama ga di-update. Ga tau juga kenapa tiba-tiba kepikiran buat buka blog ini lagi, di jam 2 pagi pula. Lagi ga bisa tidur iseng browsing trus nemu artikel menarik, dan entah kenapa jadi pengen nerjemahin itu? I don't even know anymore.


Artikel dibawah ini ditulis oleh Drake Baer disini.


Mereka disebut sebagai hikikomori: 541,000 orang yang tersebar di Jepang antara umur 15 dan 39 hidup mengurung diri. Pemerintah Jepang mendefinisikan mereka sebagai orang yang tinggal di rumah selama enam bulan dan tidak memiliki interaksi sosial selain dengan keluarga mereka, lapor Maiko Takahashi untuk Bloomberg.

Secara linguistik, kata tersebut berasal dari kombinasi hiku yang berarti menarik dan komoru, menyendiri. Definisi standarnya adalah acute social withdrawal. Fenomena ini pertama kali teridentifikasi pada 1978 sebagai withdrawal neurosis, yand semakin lanjut dideskripsikan oleh psikiater di Jepang pada tahun 1990-an, sebelum menjadi topik bahasan nasional dan internasional pada tahun 2000-an, yang ditambahkan pada Kamus Bahasa Inggris Oxford sebagai kata pinjaman pada 2010.

Takahasi memberitakan, Perdana Menteri Shinzo Abe ingin mengerahkan para hikikomori di Jepang untuk berkontribusi untuk negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia yang sedang mengalami penurunan populasi besar-besaran. Dari prespektif kesehatan, apa yang mereka lakukan ini brutal. Peneliti dari Amerika telah menemukan bahwa kesepian memiliki peningkatan resiko dalam kematian dibanding dengan obesitas. 

Sebuah review menyebutkan tiga kemungkinan alasan mengapa seseorang berubah menjadi hikki. Mereka yang overdependent di masa muda karena tumbuh besar dengan keluarga yang menekan sehingga mereka tidak mendapatkan otonomi dan belajar untuk mempercayai orang lain; ketergantungan maladaptif, tumbuh dalam keluarga disfungsional yang mendorong pada bullying dan ketidakpuasan hubungan di sekolah; dan counterdependent, mereka yang terbebani oleh tingginya ekspektasi akademis dan karir. 

Lazimnya hikikomori juga menggambarkan bagaimana budaya kesehatan mental di Jepang. Pada 2010 sebuah paper di Journal of Nervous and Mental Disease menyebutkan bahwa hikikomori digunakan oleh kebanyakan orang untuk menyebutkan gangguan-gangguan mood yang mereka tidak familiar, dan profesional yang bekerja dengan kesehatan mental dapat menggunakan itu sebagai cara halus untuk membicarakan isu-isu lain, karena depresi klinis dan sejenisnya ada banyak. Peneliti menggunakan referensi sebuah penelitian di tahun 2008 pada 97 pasien hikikomori klinis yang ditemukan 26% memiliki gangguan kecemasan, 8% memiliki schizophrenia, dan 23% mengalami gangguan kepribadian  hal ini mengindikasi apa yang terlihat sebagai hikikomori adalah hasil dari kondisi mendasar yang tidak terdiagnosa. Studi pilot pada 2011 menemukan social withdrawal yang sama juga ada di negara lain; yang mengejutkan, para dokter di Jepang berfikir hal seperti ini tidak membutuhkan intervensi, sementara pada negara-negara lain akan direkomendasikan untuk menjalani pengobatan ke rumah sakit.

Amy Borovoy, antropologis budaya dari Princeton membantah alasan rendahnya laporan penyakit mental di Jepang bukan karena indikasi gangguan kesehatan mental di masyarakat luas, melainkan karena stigma berat. Amy menulis, "Dokter sadar dengan kepekaan para keluarga, sehingga menghindari mendiagnosa psikopatologi yang mayor sebisa mungkin.". Jika Abe ingin mengembalikan para hikikomori kembali ke masyarakat, akan diperlukan perubahan terhadap budaya tersebut juga. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fangirl Diaries Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review